Amarah Sang
Tegas itu terkawal dek hikmahnya, tak terhambur terludah merata. Namun,
langkahan kaki sedikit menghempas tempias amarah yang tertahan.
"Sekiranya aku berbuat demikian,
begitulah juga apa yang dilakukan oleh orang yang besar hak engkau ke atasnya
melebihi diri aku.”
"Siapakah dia?” "Saudara
perempuanmu dan juga iparmu."
Bisik-bisik
dari celahan rumah Bintu alKhattab itu meluapkan berang Sang Umar. Dia tahu
benar, syair yang terdendang itu nyata syair Muhammad. Jengkel, Umar meluru ke
dalam rumah adiknya.
"Apakah
semuanya ini?"
Fatimah tahu
benar, tindakan saudara lelakinya diluar batas waras akal. Masakan abangnya melulu
dan bersandarkan emosi? Jujur, ada getar yang menyelinap hati kecilnya.
"Apakah
engkau telah tinggalkan agama nenek moyangmu dan mengikut agama Muhammad?”
Dan
bertubi-tubi soal selidik dihambur. Tidak cukup dengan itu, tangan kasar Sang
Umar meramas rambut Fatimah. Ditampar berkali-kali memenangkan amarah semata.
Berkali iparnya
menghalang, namun daya sang semut takkan pernah mampu menenteramkan angina sang
gajah.
Jasad Fatimah
yag terjelopok ditatap penuh marah. Cungap nafas terhembus, persis api radang
yang berkeping-keping teruap.
Fatimah menggagahkan
sokongan belakang tangan. Sebelah lagi tangan memegang kepala yang berdarah. “Perbuatkanlah, kalau engkau sudah terpaksa.”
Malu. Runsing.
Tindakannya melulu. Rasionalnya tercabar. Kisikan fitrah seorang abang Sang
Umar singgah menggelayut. Perlahan, Umar melabuhkan riba, “Tunjukkanlah kitab
itu kepada aku.”
“Kitab ini
tak tersentuh mereka yang tidak bersih.”
Secara psikologikal,
dapat dirumuskan afeksi para hati anak Adam itu terpengaruh dengan keadaan
sekeliling.
Mari kita
amati sebahagian daripada ayat yang menyentuh hati tegas Sang Umar,
“Ketika ia melihat api, lalu berkatalah ia kepada isterinya:
"Berhentilah! Sesungguhnya aku ada melihat api semoga aku dapat membawa
kepada kamu satu cucuhan daripadanya, atau aku dapat di tempat api itu:
penunjuk jalan.
Maka apabila ia
sampai ke tempat api itu (kedengaran) ia diseru: ‘Wahai Musa! Sesungguhnya Aku
Tuhanmu! Maka bukalah kasutmu, kerana engkau sekarang berada di Wadi Tuwa yang
suci.
Dan Aku telah memilihmu menjadi Rasul maka dengarlah apa
yang akan diwahyukan kepadamu. Sesungguhnya Akulah Allah; tiada tuhan melainkan
Aku; oleh itu, sembahlah akan Daku, dan dirikanlah sembahyang untuk mengingati
Daku.”
[Taha, 20 : 10-14]
Kisah Musa
ini dekat dengan situasi yang dialami sahabat Rasulullah saw ini.
Jejak langkah
Umar alKhattab ke rumah adiknya tidaklah terkebetulan sejajar dengan firman
Allah akan jejak langkah Musa ke Lembah Tuwa.
Tidak cukup
dengan itu, perintah al-Hikmah agar membuka sepatu kerana berada di lembah suci
Tuwa bertepatan dengan suruhan adik kandungnya, Fatimah untuk menyucikan diri.
Akidah Islam
membenarkan segala kejadian sebagai aturan Yang Maha Mengaturkan, bukan sekadar
kebetulan. Dan hati getas Umar faham amat hakikat itu.
“Aku telah
memilihmu…”, terdeklamasi firmanNya, dan Umar mengerti langkahannya ke rumah
Fatimah, tidak mungkin tidak, adalah kerana terpilinya dia sebagai Islam.
“Ya Allah
muliakanlah Islam dengan salah satu dari dua Umar.”
Dan detik itu, doa yang
terlantunkan menuju langit ini terkabul.
Setiap hati
yang tersentuh itu, seharusnya memahami, detik hati terdetap dengan Islam,
detik itu jua Allah telah memilih hati itu untuk memahami Islam.
“Aku telah
memilihmu…”
“Di manakah
Rasulullah saw?” lantunan intonasi Sang Tegas itu berganti amat.
“Baginda di
rumah al-Arqam.”
[Doa yang terlantun]
Habiburrahim
1 comment:
ya doa yang tidak kita tahu mana satu Allah kabul.
saat Allah memakbulkan doa dengan salah satu umar. subhanallah.
dan moga kita juga menjadi yang terpilih.
Post a Comment