Friday, February 21, 2014

Doa yang terlantun


Amarah Sang Tegas itu terkawal dek hikmahnya, tak terhambur terludah merata. Namun, langkahan kaki sedikit menghempas tempias amarah yang tertahan.


"Sekiranya aku berbuat demikian, begitulah juga apa yang dilakukan oleh orang yang besar hak engkau ke atasnya melebihi diri aku.”

"Siapakah dia?” "Saudara perempuanmu dan juga iparmu."


Bisik-bisik dari celahan rumah Bintu alKhattab itu meluapkan berang Sang Umar. Dia tahu benar, syair yang terdendang itu nyata syair Muhammad. Jengkel, Umar meluru ke dalam rumah adiknya.

"Apakah semuanya ini?"

Fatimah tahu benar, tindakan saudara lelakinya diluar batas waras akal. Masakan abangnya melulu dan bersandarkan emosi? Jujur, ada getar yang menyelinap hati kecilnya.

"Apakah engkau telah tinggalkan agama nenek moyangmu dan mengikut agama Muhammad?”

Dan bertubi-tubi soal selidik dihambur. Tidak cukup dengan itu, tangan kasar Sang Umar meramas rambut Fatimah. Ditampar berkali-kali memenangkan amarah semata.

Berkali iparnya menghalang, namun daya sang semut takkan pernah mampu menenteramkan angina sang gajah.

Jasad Fatimah yag terjelopok ditatap penuh marah. Cungap nafas terhembus, persis api radang yang berkeping-keping teruap.

Fatimah menggagahkan sokongan belakang tangan. Sebelah lagi tangan memegang kepala yang berdarah.  “Perbuatkanlah, kalau engkau sudah terpaksa.”

Malu. Runsing. Tindakannya melulu. Rasionalnya tercabar. Kisikan fitrah seorang abang Sang Umar singgah menggelayut. Perlahan, Umar melabuhkan riba, “Tunjukkanlah kitab itu kepada aku.”

“Kitab ini tak tersentuh mereka yang tidak bersih.”



Secara psikologikal, dapat dirumuskan afeksi para hati anak Adam itu terpengaruh dengan keadaan sekeliling.

Mari kita amati sebahagian daripada ayat yang menyentuh hati tegas Sang Umar,

“Ketika ia melihat api, lalu berkatalah ia kepada isterinya: "Berhentilah! Sesungguhnya aku ada melihat api semoga aku dapat membawa kepada kamu satu cucuhan daripadanya, atau aku dapat di tempat api itu: penunjuk jalan.
 Maka apabila ia sampai ke tempat api itu (kedengaran) ia diseru: ‘Wahai Musa! Sesungguhnya Aku Tuhanmu! Maka bukalah kasutmu, kerana engkau sekarang berada di Wadi Tuwa yang suci.
Dan Aku telah memilihmu menjadi Rasul maka dengarlah apa yang akan diwahyukan kepadamu. Sesungguhnya Akulah Allah; tiada tuhan melainkan Aku; oleh itu, sembahlah akan Daku, dan dirikanlah sembahyang untuk mengingati Daku.”
[Taha, 20 : 10-14]

Kisah Musa ini dekat dengan situasi yang dialami sahabat Rasulullah saw ini.

Jejak langkah Umar alKhattab ke rumah adiknya tidaklah terkebetulan sejajar dengan firman Allah akan jejak langkah Musa ke Lembah Tuwa.

Tidak cukup dengan itu, perintah al-Hikmah agar membuka sepatu kerana berada di lembah suci Tuwa bertepatan dengan suruhan adik kandungnya, Fatimah untuk menyucikan diri.

Akidah Islam membenarkan segala kejadian sebagai aturan Yang Maha Mengaturkan, bukan sekadar kebetulan. Dan hati getas Umar faham amat hakikat itu.

Aku telah memilihmu…”, terdeklamasi firmanNya, dan Umar mengerti langkahannya ke rumah Fatimah, tidak mungkin tidak, adalah kerana terpilinya dia sebagai Islam.

“Ya Allah muliakanlah Islam dengan salah satu dari dua Umar.”

Dan detik itu, doa yang terlantunkan menuju langit ini terkabul.

Setiap hati yang tersentuh itu, seharusnya memahami, detik hati terdetap dengan Islam, detik itu jua Allah telah memilih hati itu untuk memahami Islam.

“Aku telah memilihmu…”




“Di manakah Rasulullah saw?” lantunan intonasi Sang Tegas itu berganti amat.

“Baginda di rumah al-Arqam.”


[Doa yang terlantun]
Habiburrahim



1 comment:

chad_NH said...

ya doa yang tidak kita tahu mana satu Allah kabul.

saat Allah memakbulkan doa dengan salah satu umar. subhanallah.


dan moga kita juga menjadi yang terpilih.

Gadgets By Spice Up Your Blog