Saturday, October 4, 2014

Bicara itu



Masih menunggu.

***

Dia melangkah menemui Rasullullah.

"Wahai Khuwayla, sepupumu itu seorang dalu, bertaqwalah kepada Allah." Jawab Rasulullah.

Hatinya remuk. Berantak. Lumat.

Seperca hati yang relai itu bergetar menafikan perbuat suaminya itu sebagai keadilan.

Dan secarik hati itu juga tahu, ada kuasa yang mampu menindan segala kuasa yang miring itu. Dia menadah daya memanjat tuturan adu akan Allah. Bait-baitnya tersusun cantik, bukan asal pilih. Lidahnya menggumam kata penuh harap. Lafaznya perkata, jelas.

Dan dia, masih menunggu berdekatan dengan Rasulullah.

Masih menunggu turun firman pengadilan.

***

"Engkau bagiku umpama belakang ibuku."

Dia Khawla bint Thalabah, menjalin kata penuh khusyuk dalam menghitung khabar suaminya, Aws ibn al-Samit yang menziharnya, kepada Daya yang mengatasi komune menindas itu.

***

Bicara itu

kalau terusaha sendiri mengutus,
manakan mampu 
''...seakan-akan dia (sedang) mendaki ke langit..."
[al-An'am, 6 : 125]

bicara itu
dibawa angin
merentas tindan langit tujuh
menyorot kabut awan

bicara itu,
tanpa hijab, 
tanpa perutus

bicara itu,
bicara sejumput hamba hina
bual mesra budak nista
tutur adu khadam dina

bicara itu
bicara dua hala akan Ilahi

"Adakah penghormatan bagi manusia
seperti penghormatan yang tinggi mulia seperti ini?"
[Fi Zilalil Quran]

ini
bicara penghormatan namanya

***

"Allah menurunkan kalam titah untuk menyaksamamu dan suamimu." sabda RasulNya.

"Sesungguhnya Allah telah mendengar (dan memperkenan) aduan perempuan yang bersoal jawab denganmu (wahai Muhammad) mengenai suaminya, sambil ia berdoa merayu kepada Allah (mengenai perkara yang menyusahkannya), sedang Allah sedia mendengar perbincangan kamu berdua. Sesungguhnya Allah Maha Mendengar, lagi Maha Melihat."
[al-Mujadila, 58 : 1]

Kalam titah pengadilan, al-Mujadila ayat 1 hingga 4.
Bicara Allah sama Khawla. Bicara Allah sama manusia.

[Bicara itu]
Habiburrahim




No comments:

Gadgets By Spice Up Your Blog